Tuesday, November 3, 2009

Pluralisme Dan Kebhinekaan Bangsa

Semua yang ada saat ini adalah hasil kerja keras dari para pahlawan yang telah mempertaruhkan nyawa mereka demi lahirnya sebuah bangsa yang besar. Hari ini (170809) kita sudah berdiri dikaki kita sendiri selam 64 tahun dalam mengatur segala macam permasalah yang datang dari dalam maupun dari luar negeri... Semua orang tahu kalau Indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaannya. Semua yang ada di Indonesia merupakan suatu yang indah bila kita mampu memahami apa makna yang terkandung didalamnya. Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, itulah yang membuat negara ini seakan-akan tidak membosankan untuk dipelajari.... Sesuai dengan slogan negara kita yang berbunyi "Bhinneka Tunggal Ika" selayaknyalah kita menghargai segala macam hasil karya yang dibuat oleh berbagai macam anak bangsa dari seluruh pelosok negeri. Semua yang mereka buat tidak akan menjadi sempurna apabila kita sebagai teman sebangsanya tidak menghargai atau mendukung karya yang telah mereka buat... Sejarah Indonesia mengatakan bahwa bangsa ini diperjuangkan bukan hanya oleh orang Jakarta atau orang Surabaya, namun melainkan semua turut ikut serta berjuang demi kepentingan bangsa tanpa memperdulikan kepentingan masing-masing dari mereka...

Hamka dan Pluralisme Agama

Friday, December 01, 2006

Pada Selasa, 21 November 2006, Syafii Maarif menulis kolom Resonansi di Republika yang berjudul 'Hamka Tentang Ayat 62 Al Baqarah dan Ayat 69 Al Maidah'. Hari itu, saya sedang di Gresik mengisi acara kajian tentang Islam Liberal di Pesantren Maskumambang Gresik, Jawa Timur. Mulai pagi hingga malam hari, bertubi-tubi SMS masuk ke HP saya yang mempersoalkan isi tulisan tersebut.

Rabu paginya, saya baru sempat membaca tulisan Syafii Maarif. Setelah saya cek ke Tafsir Al Azhar yang dirujuk Syafii, memang ada sejumlah hal yang perlu diperjelas dari tulisan Syafii, agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru terhadap sosok Hamka. Ayat Alquran yang dibahas Syafii Maarif memang saat ini sedang gencar-gencarnya disosialisasikan oleh pendukung paham pluralisme agama untuk menjustifikasi paham yang meyakini bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang satu itu.

Dalam pandangan pluralisme agama 'versi transendentalisme' ini, tidak ada agama yang salah, dan tidak boleh satu pemeluk agama yang mengklaim hanya agamanya sendiri sebagai jalan satu-satunya menuju Tuhan. Kalangan pluralis kemudian mencari-cari dalil dalam kitab suci masing-masing untuk mendukung paham ini. Yang dari kalangan Islam biasanya menjadikan QS 2:62 dan 5:69 untuk menjustifikasi pandangannya. Kalangan Hindu pluralis, misalnya, biasanya suka mengutip Bagawad Gita IV:11: 'Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-ku, semuanya aku terima.'

Tentu saja, legitimasi paham pluralisme agama dengan ayat-ayat tertentu dalam kitab suci masing-masing agama mendapatkan perlawanan keras dari tiap agama. Tahun 2000, Vatikan telah menolak paham pluralisme dengan mengeluarkan dekrit Dominus Jesus. Tahun 2004, seorang pendeta Kristen di Malang menulis buku serius tentang paham pluralisme agama berjudul 'Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini'. Tahun 2005, MUI juga mengeluarkan fatwa yang menolak paham pluralisme agama. Dan tahun 2006, Media Hindu juga menerbitkan satu buku berjudul 'Semua Agama Tidak Sama'. Buku ini juga membantah penggunaan ayat dalam Bhagawat Gita IV:11 untuk mendukung paham penyamaan agama yang disebut juga dalam buku ini sebagai paham universalisme radikal.

Penyalahgunaan
Di kalangan kaum pluralis yang beragama Islam, QS 2:62 dan 5:69 biasanya dijadikan legitimasi untuk menyatakan, bahwa umat beragama apa pun, asal beriman kepada Tuhan dan Hari Akhir, serta berbuat baik, maka dia akan mendapat pahala dari Allah dan masuk sorga. Karena itu, untuk mendapatkan keselamatan di akhirat, kaum Yahudi dan Kristen, misalnya, tidak perlu beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk mencari legitimasi, yang sering dijadikan rujukan adalah Tafsir Al Manar yang ditulis Rasyid Ridha.

Prof Abdul Aziz Sachedina, misalnya, dalam satu artikelnya berjudul Is Islamic Revelation an Abrogation of Judaeo-Christian Revelation? Islamic Self-identification, menyatakan: "Rasyid Ridha tidak mensyaratkan iman kepada kenabian Muhammad bagi kaum Yahudi dan Kristen yang berkeinginan untuk diselamatkan, dan karena itu, ini secara implisit menetapkan validitas kitab Yahudi dan Kristen."

Sachedina dan sejumlah Pluralis lainnya tidak cermat dan tidak lengkap dalam mengutip Tafsir Al Manar, sehingga berkesimpulan seperti itu. Padahal, dalam Tafsir Al Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi Muhammad saw tidak sampai. Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3:199), Rasyid Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, di antaranya: (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, (2) beriman kepada Alquran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Al Manar juga menyebutkan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani, tidak bisa disebut ahl al fathrah, yang berhak memperoleh keselamatan dan tidak ada alasan untuk membebaskan mereka dari hukuman, karena mereka masih dapat mengenali ajaran kenabian yang benar.

Dengan logika sederhana sebenarnya kita bisa memahami, bahwa untuk dapat 'beriman kepada Allah' dan Hari Akhirat dengan benar dan beramal saleh dengan benar, seseorang pasti harus beriman kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rasul Allah. Sebab, dalam konsep keimanan Islam, hanya melalui rasul-Nya, kita dapat mengenal Allah dengan benar; mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. Juga, hanya melalui Nabi Muhammad SAW, kita dapat mengetahui, bagaimana cara beribadah kepada Allah dengan benar.

Pendapat Hamka
Pendapat Hamka tentang keselamatan kaum non-Muslim dalam pandangan Islam sebenarnya juga tidak berbeda dengan para mufassir (ahli tafsir) terkemuka yang lain, termasuk ketika menafsirkan QS 2:62 dan 5:69. Karena itu, Hamka memandang, ayat itu tidak bertentangan dengan QS 3:85 yang menyatakan: "Dan barang siapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi." Jadi, QS 3:85 tidak menasakh QS 2:62 dan 5:69 karena memang maknanya sejalan.

Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 --sebagaimana juga dikutip Syafii Maarif-- bahwa "Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firman-Nya, segala rasul-Nya dengan tidak terkecuali dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang saleh."

Jadi, Hamka tetap menekankan siapa pun, pemeluk agama apa pun, akan bisa mendapatkan pahala dan keselamatan, dengan syarat dia beriman kepada segala firman Allah, termasuk Alquran, dan beriman kepada semua nabi dan rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW. Jika seseorang beriman kepada Alquran dan Nabi Muhammad SAW, maka itu sama artinya dia telah memeluk agama Islam. Itulah makna QS 3:85 yang sejalan dengan makna QS 2:62 dan 5:69.

Soal keimanan kepada Nabi Muhammad SAW dan Alquran itulah yang sejak awal ditolak keras oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi menolak mengimani Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW. Dan kaum Nasrani menolak untuk beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kaum Muslim mengimani Nabi Musa, Nabi Isa, dan juga Nabi Muhammad SAW, sebagai penutup para Nabi.

Hamka adalah sosok ulama yang gigih dalam membela aqidah Islam. Tahun 1981, dia memilih mundur dari Ketua Majlis Ulama Indonesia, daripada harus menarik kembali fatwa haramnya merayakan Natal bersama bagi umat Islam. Beberapa hari kemudian, beliau meninggal dunia. Sosok Hamka sangat jauh berbeda dengan para pengusung paham pluralisme agama. Mudah-mudahan tulisan ini memperjelas sikap Hamka dalam masalah keimanan Islam.

Dimuat di Republika.co.id

Pluralisme agama

Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula:

  • Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar.
  • Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama.
  • Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi dalam satu agama.
  • Dan sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun denominasi yang berbeda-beda.